Menurut ilmu Kaweruh Jawa, bahwa kehidupan ini berawal dari sastra suci (firman, sabda dawuh) Tuhan. Sabda dawuh itu hanya tunggal. Yang kemudian memancar memenuhi jagat. Sastra itu dinamakan ‘Sastra Hayat’.
Apakah yang disebut Sastra Hayat alias Sastra Urip? Disebutkan bahwa dawuh Tuhan itu hanya satu alias tunggal. Yaitu yang berbunyi ‘ KUN’ artinya Jadilah. Maka gumelar (tergelarlah) jagat raya seisinya. Wewujudan itu semua hidup, sehingga firman Tuhan yang berupa ‘Kun’ itu disebut Sastra Hidup. Penjelasan ringkasnya, karena semula tidak ada apa-apa menjadi ada, dan semua yang ada itu hidup.
Pancaran sabda Kun yang memenuhi jagat itu terbagi menjadi tingkatan-tingkatan. Oleh Ki Kalamwadi, penulis serat Darmogandul, dibagi menjadi 5 sastra. Sastra pertama dinamakan Sastra Rancang. Bila ditafsirkan, berarti dawuh yang telah dirancang (terencana), sebelum Tuhan mengucapkannya. Sabda dawuh ini meliputi semua makhluk hidup terdahulu (kadim), yang berlaku hingga akhir zaman. Maknanya, sabda itu diucapkan sekali berlaku untuk selamanya.
Tingkatan berikutnya, yaitu sastra yang kedua dinamakan Sastra Swarawangsit. Wujudnya suara burung. Kicauan burung itu merupakan sabda Hyang Agung. Burung hanya sakderma berkicau, sesungguhnya memberi tahu adanya dawuh sasmita yang edipeni, adanya berita gaib dari Tuhan untuk semua makhluk tercipta ini.
Berdasarkan riwayat awal mula kejadian, sebelum makhluk tercipta, terlebih dulu Tuhan menciptakan burung Merak dari bayangan cahaya-Nya sendiri, yang disebut burung ….. Burung tersebut berzikir menyucikan Tuhan selama 500 ribu tahun.
Di alam gumelar ini, di sekitar kita kiranya kerap terdengar suara-suara burung yang memberikan pertanda. Seperti suara burung gagak atau burung hantu, ketika terbang melintas di sekitar kita lantas bersuara, maka tandanya ada orang yang akan meninggal dunia. Contoh lain, burung prenjak yang kicauannya kencang di pagi hari, merupakan isyarat bakal ada tamu dari jauh yang datang. Burung derkuku manggung, memberi sinyal bakal mendapat rezeki. Burung perkutut yang berbunyi pada tengah malam menandakan sinyal gaib, bakal ada pagebluk dan lain-lain. Itulah, di antara sinyal wangsit-wangsit gaib dari Tuhan yang diberitahukan melalui suara burung.
Tingkatan ketiga dinamakan Sastra Arja Ayuningrat. Firman Tuhan ini wujudnya gaib, tidak tertulis dengan tinta di kertas juga tidak berupa suara. Namun keberadaannya meliputi di dalamnya wujud (makhluk). Arja atau arya, artinya mulia. Ayuningrat artinya kebaikan terhadap alam atau jagat. Jadi, di dalam setiap makhluk hidup terdapat kemuliaan berkaitan dengan keberlangsungan alam semesta.
Ketiga sastra ini, Rancang, Swarawangsit, dan Arja Ayuningrat, termasuk dawuh gaib yang paling berat dipahami. Hanya orang-orang terpilih yang mampu menerima. Sosok pilihan adalah mereka yang sudah mencapai tataran ‘paramayoga’ (semadi, meditasi, tafakur) yang paling tinggi. Seperti para rasul ketika menerima wahyu pertama.
Sastra yang ke empat disebut Sastra Endraprawata. Yaitu dawuh yang dianggap tertulis dan bisa dilihat mata lahiriah. Agaknya, hal ini merupakan bahasa dan huruf-huruf, yang diberikan kepada setiap bangsa. Setiap bangsa negara memiliki aksara sendiri-sendiri. Maka sastra (firman, sabda)-nya Gusti Allah bagi setiap bangsa tertulis dengan cara bangsanya sendiri-sendiri. Sedangkan untuk dapatnya memahami isinya sastra (firman, sabda) harus mencari pengetahuan.
Seperti halnya kitab suci Alquran, merupakan kumpulan dawuh-dawuhnya Gusti Allah, yang berbahasa Arab untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya, juga sebagian isinya didawuhkan kepada nabi-nabi sebelumnya. Di antaranya manusia pertama, Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan nabi-nabi lainnya.
Untuk mengetahui isi kandungan Alquran, setiap bangsa mempelajarinya, kemudian mengalihbahasakan ke dalam bahasa mereka. Zaman dulu ada Alquran terjemahan berbahasa Jawa. Kini, ada terjemahan bahasa Inggris, Cina, Prancis, dan lainnya. Menurut ahli bahasa di percetakan Umul Qurra’ di Madina, ada 50 bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar